Rabu, 22 April 2009

Keperawanan

kata perawan memiliki arti sebagai seorang wanita yang belum pernah mengadakan hubungan seksual atau senggama. Wanita yang masih perawan disebut gadis. Secara umum 'perawan' juga direlasikan dengan kesucian. Secara fisik perawan ditandai dengan utuhnya selaput dara yang berada pada daerah vagina. Dan hilangnya keperawanan biasanya disertai dengan keluarnya darah dari daerah vagina (tergantung bentuk dan ketebalan selaput dara) saat mengadakan hubungan seksual pertama kali.

Membahas Masalah Keperawanan (virginitas) sampai saat ini masih menjadi suatu permasalahan yang sangat urgen dan slalu diperdebatkan.

Berdasarkan penelitian terhadap pasien yang datang di Klinik Pasutri Dokter Boyke Dian Nugraha menunjukkan 83 persen laki-laki menghendaki calon istrinya masih perawan. kemudian dokter Boyke berkata "Saya sempat kaget sebab persentase demikian tinggi. Pria Indonesia cenderung munafik, mereka menginginkan calon istrinya masih perawan. Padahal mereka pula yang merusak keperawanan wanita," kata dr. Boyke Dian di sela-sela seminar nasional Problema dan Realitas Seks Masa Kini yang diselenggarakan Fakultas Kedokteran Unsoed.

Kata perawan (dalam kamus bahasa Indonesia), atau virgin (dalam bahasa Inggris), mempunyai arti seseorang yang belum pernah disentuh atau belum pernah menikah dan belum pernah berhubungan intim dengan lawan jenis maupun sesama jenis. keperawanan adalah lambang kesucian dari seorang wanita.yang menjadi permasalahan saat ini adalah keperawanan yang selalu diidentikkan dengan pecahnya selaput darah yang telah menjadi mitos di masyarakat, padahal faktanya secara medis, robeknya selaput dara tidak harus diikuti dengan keluarnya bercak darah.

Keperawanan (Virginitas) dalam kaca mata orang Timur, lebih merupakan persoalan kultural. Hanya saja ada ketimpangan atau ketidakadilan gender disitu, dimana perempuan cenderung dipojokkan dan dituntut untuk menjaga keperawanannya, sementara laki-laki tidak pernah dipermasalahkan keperjakaannya.Virginitas kemudian menjadi sebuah mitos yang sangat sakral, sehingga seolah-olah jika perempuan tidak virgin (perawan) lagi, habislah seluruh harapan hidupnya. Oleh sebab itu, soal selaput dara tidak bisa menjadi satu-satunya ukuran moral untuk menentukan baik-buruknya seorang perempuan, sebab bisa jadi ia tidak virgin karena mungkin diperkosa, padahal di situ cenderung dalam posisi lemah, atau mungkin berolah raga dan lain sebagainya. Sehingga sangatlah naif dan tidak adil, jika mengukur moralitas hanya semata-mata kerena ia tidak perawan, yang biasanya ditandai oleh robeknya selaput darah. Kalau virginitas itu disebabkan oleh karena ia melakukan seks bebas sebelum pra nikah, barangkali umumnya orang sepakat, dan khususnya kultur orang Timur akan mengatakan bahwa hal itu merupakan aib (kekurangan). Namun mestinya stigmatsiasi seperti itu juga harus diberikan kepada kaum laki-laki, sehingga lebih adil. Oleh sebab itu, harus ada pergeseran anggapan yang lebih berkeadilan gender. Artinya bahwa tuntutan untuk menjaga kesucian sebelum pra nikah harus secara adil diberikan baik kepada kaum laki-laki, tidak hanya perempuan. Memang untuk merubah pola pikir seperti ini tidak mudah, sebab mitos mengenai keperawanan itu sudah mengoyot (deep rooted) dalam pikiran, budaya dan kultur masyarakat kita. Tidak berlebihan kiranya jika dikatkan bahwa masalah keperawanan nampaknya lebih merupakan persoalan kultur, dimana aroma patriarkhinya sangat kental. Ia kemudian menjadi mitos yang cenderung merugikan perempuan. Seolah perempuan kalau sudah tidak perawan lagi dengan serta merta diklaim sebagai perempuan yang tidak baik dan tidak bisa jadi harapan menjadi istri yang baik.

Akibatnya perempuan akan selalu merasa bersalah dan rendah diri dihadapan laki-laki jika kehilangan selaput daranya. Anehnya tuntutan seperti itu hampir tidak pernah diberikan kepada laki-laki. Mungkin karena alat kelamin laki-laki yang sulit dideteksi secara medis. Namun bukankah yang menyebabkan tidak virgin karena hubungan seks juga laki-laki? Jadi, kultur patriarkhi itulah sebenarnya yang sangat mendominasi mempermasalahkan soal keperawanan perempuan. Sebagai akibatnya soal keperjakaan seolah diabaikan sama sekali. Sampai-sampai kadang jika lelaki menikahi perempuan yang tidak perawan lagi, ia merasa tidak marem, ada something loss dalam dirinya. Pandangan seperti ini jelas tidak adil dan sudah selayaknya direkonstruksi.

Oleh karenanya perlu dibongkar dengan wacana yang lebih berkeadilan gender. Sehingga seandainya laki-laki mau menikah dengan perempuan, mestinya tidak perlu hanya terjebak kepada persoalan keperwanan, apakah selaput darahnya masih utuh atau tidak, sebab boleh jadi calon istrinya seorang janda. Memangnya laki-laki mau menikah dengan selaput darah? Oleh sebab itu, bagi kaum laki-laki, hendaklah bisa memandang kaum perempuan secara lebih utuh dan tidak parsial. Karena cara pandang seperti itu merupakan cara pandang yang lebih manusiawi dan merupakan salah satu bentuk penghargaan kepada kaum perempuan.
Walaupun perdarahan di malam pertama bisa menjadi bukti bahwa wanita tersebut masih perawan (virgin), tapi tidak tertutup kemungkinan beberapa wanita yang lihai dan sangat berpengalaman dalam berhubungan seksual, masih tetap mengeluarkan bercak darah karena sisa selaput darah yang terluka, sehingga ia terkesan masih virgin.Pendek kata, keperawanan adalah masalah kepercayaan. Seorang wanita yang selaput darahnya robek karena olahraga dan tidak mengeluarkan darah di malam pertama, apakah bisa dicap sudah tidak gadis lagi? Sedangkan di sisi lain, ada wanita yang "lebih beruntung", walaupun sudah berhubungan seksual berulang kali namun di malam pertama masih keluar darah karena adanya sisa selaput darah yang terluka. Apakah adil pelebelan perawan dan tidak perawan pada kasus di atas. Sekali lagi, keperawanan adalah masalah kepercayaan. Bila kehidupan rumah tangga sudah sedemikian bahagianya, apalagi dengan hadirnya sang buah hati, masih memusingkan darah yang tidak "tertumpah" di malam pertama? Mitos tentang selaput dara memang tidak semuanya sesuai fakta.

Wanita diberi banyak keistimewaan secara fisik yang harus disyukuri dan dijaga namun adakalanya keistimewaan itu digunakan untuk membatasi wanita itu sendiri. keistimewaan itu juga bisa disalahgunakan dengan dalih karena kau wanita yang perlu dilindungi (oleh pria biasanya). wanita jelas berbeda dengan pria, dan hanya berdasarkan kodrat makanya ia berbeda dengan pria kodrat di sini adalah apa yang diberikan Tuhan kepada wanita yang tidak dimiliki pria. mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui (ini kodrat wanita yang pria tidak punya!) jika soal keperawanan, apakah pria juga tidak punya? jika wanita harus dituntut selalu menjaga keperawanannya, lantas bagaimana dengan pria?

Pernah dilakukan survey kecil tentang pandangan terhadap virginitas.hasilnya ternyata ada standar ganda, yaitu virginitas harus dijaga wanita sebelum dia menikah (entah nantinya dia menikah dengan seorang laki-laki yang juga masih perjaka tulen atau tidak tulen). yang anehnya, pikiran seperti ini dimiliki pria dan wanita yang menjadi responden survey kecil-kecilan itu. sederhananya, pria boleh tidak perjaka tapi harus dapat wanita yang masih virgin, sementara hal sebaliknya tidak berlaku bagi para wanita. Apa yang bisa kita petik dari sini? ternyata ada standar ganda dalam memandang masalah ini. Yang menggelitik adalah, kenapa wanita-wanita yang menjadi responden itu juga berpikiran yang standar ganda padahal ini menyangkut nasib mereka?Jawabannya adalah karena sejak lama wanita sudah berpikir dan memandang dirinya sebagaimana para pria memandang mereka (oto subyektif), dan ini adalah kinstruksi sosial yang dibangun sejak lama. Kita wanita hidup di dunia yang khas laki-laki (paternalistik).

keperawanan adalah hal yang terberi . menjaga keperawanan adalah pilihan, bukan kodrat karena kalau kodrat berarti pria juga harus menjaga keperjakaan nya juga. Artinya karena itu pilihan maka selayaknya sebuah pilihan pasti ada konsekuensinya. jika wanita dan pria sama-sama dituntut untuk menjaga virginitasnya, maka persoalannya akan mungkin lebih sulit untuk seorang wanita. sebab kadang-kadang keperawanan sering diidentikkan dengan bukti cinta, demi cinta, wanita meyerahkan keperawanannya, memang tidak semuanya begitu, atau mungkin juga karena virginitas lebih mudah pembuktiannya pada wanita dibanding pria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar